Teknologi Aedes Aegypti Ber-Wolbachia
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam serius yang disebabkan oleh gigitan nyamuk betina Aedes aegypti yang menyerang melalui sistem peredaran darah manusia. Di musim hujan, perkembangan nyamuk ini menjadi sangat masif, sehingga masyarakat perlu melakukan persiapan guna mencegah gigitan nyamuk tersebut.
Dikutip dari laman World Health Organization (WHO), sekitar setengah dari populasi dunia saat ini berisiko terkena demam berdarah dengan perkiraan 100–400 juta infeksi terjadi setiap tahun. Pencegahan dan pengendalian DBD bergantung pada pengendalian vektor. Sampai saat ini, belum ada pengobatan khusus untuk demam berdarah/dengue parah. Namun, deteksi dini penyakit dan akses ke perawatan medis yang tepat sangat menurunkan tingkat kematian akibat demam berdarah parah.
Data Kemenkes RI tahun 2023, tercatat ada 76.449 kasus dengue dengan 571 kasus kematian mulai dari Januari-November, walau kasus ini sudah menurun dibanding tahun lalu tetapi masih ada kasus kematian per tahunnya. Tahun 2022, dilaporkan ada 143.300 dengan 1.236 kematian. Kelompok umur dengan kematian tertinggi pada rentang usia 5-14 tahun.
Kasus dengue terbilang masih cukup tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan masyarat. Karenanya perlu berbagai inovasi dilakukan untuk menekan penyebaran dengue terutama menekan angka kematian sekaligus mempercepat target eliminasi dengue tahun 2030.
Gejala Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menunjukkan berbagai gejala yang berbeda pada setiap individu. Berikut adalah beberapa gejala umum yang sering terkait dengan DBD:
1. Demam tinggi - Demam tiba-tiba dan mendadak dengan suhu tubuh mencapai atau melebihi 39 derajat Celsius. Demam pada demam berdarah dengue umumnya berlangsung selama 3 hari dan sulit turun walaupun pasien telah mengonsumsi obat penurun panas.
2. Sakit kepala yang parah - Sakit kepala yang hebat dan terasa seperti tekanan di belakang mata.
3. Nyeri otot dan sendi - Nyeri pada otot dan sendi, yang sering kali dikeluhkan sebagai rasa pegal atau nyeri di belakang mata, sendi, atau otot.
4. Ruam kulit - Ruam yang sering disebut ruam petekie atau bintik merah kecil pada kulit. Ruam ini biasanya muncul pada lengan, kaki, atau bagian tubuh lainnya.
5. Nyeri di belakang mata - Nyeri pada daerah di belakang mata, yang terutama terasa saat bergerak bola mata.
6. Nyeri perut - Nyeri perut yang dapat terasa seperti nyeri perut biasa atau ketegangan pada perut.
7. Mual dan muntah - Rasa mual atau ingin muntah, sering kali disertai muntah yang tidak terkait dengan makanan yang dikonsumsi.
8. Kelelahan yang parah - Kelelahan yang berat dan sering kali membuat penderita merasa lemah dan tidak berenergi.
Selain gejala-gejala di atas, DBD juga dapat menyebabkan komplikasi serius seperti pendarahan yang berpotensi mengancam nyawa. Jika DBD berkembang menjadi bentuk yang lebih parah yang dikenal sebagai demam berdarah dengue berat (DBD berat) atau sindrom syok dengue, gejalanya dapat termasuk perdarahan dari mulut, hidung, gusi, atau kulit, penurunan tekanan darah yang cepat, nadi yang lemah, kulit pucat, dan kelemahan yang parah. DBD berat memerlukan perawatan medis segera.
Teknologi Aedes Aegypti Ber-Wolbachia
Salah satu inovasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan penularan dengue adalah dengan menerapkan teknologi nyamuk ber-wolbachia. Wolbachia adalah bakteri alami pada 60 persen serangga. Bakteri ini tidak menginfeksi manusia atau vertebrata yang lain, dan tidak menyebabkan manusia atau hewan menjadi sakit.
Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia. Dengan demikian, perlahan populasi aedes aegypti berkurang dan berganti menjadi nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia. Wolbachia hidup dalam sel serangga dan dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui telur.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu menegaskan bahwa penyebaran nyamuk ber-wolbachia dipastikan aman karena telah melalui proses penelitian yang cukup panjang dengan turut melibatkan banyak ahli.
“Penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia sudah melalui kajian dan analisis risiko dengan melibatkan 25 peneliti top Indonesia, dan hasilnya bagus, sudah diujicobakan di Yogyakarta sekitar 5-6 tahun lalu dan hasilnya sangat menggembirakan” kata Dirjen Maxi saat menjadi pembicara dalam temu media bertajuk “Mengatasi DBD Dengan Wolbachia” pada Jumat (24/11).
Kemenkes juga telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-wolbachia di 5 kota untuk memastikan implementasi wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Nyamuk Ber Wolbachia Universitas Gadjah Mada Prof Adi Utarini mengatakan bahwa penyebaran dengue di Kota Yogyakarta telah berjalan efektif sejak tahun 2016. Terbukti, daerah yang disebar nyamuk ber-wolbachia terbukti mampu menurunkan angka kejadian demam berdarah hingga 77 persen dan angka perawatan rumah sakit juga turun 86 persen.
Bagaimana teknologi Aedes Aegypti ber-Wolbachia ini bekerja?
1. Wolbachia disuntikan ke dalam telur nyamuk Aedes aegypti
2. Nyamuk Jantan Wolbachia kawin dengan Nyamuk Betina: Telur tidak menetas
3. Nyamuk Jantan kawin dengan Nyamuk Betina Wolbachia: Telur yang menetas ber-Wolbachia
4. Nyamuk Jantan Wolbachia kawin dengan Nyamuk Betina Wolbachia: Telur yang menetasnya ber-Wolbachia
Wolbachia dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dapat menurunkan replika virus dengue sehingga dapat mengurangi kemampuan nyamuk tersebut sebagai penular demam berdarah. Pertambahan bakteri atau virus terjadi melalui mekanisme kompetisi mendapatkan makanan antar virus dengue dan bakteri Wolbachia dalam tubuh nyamuk. Makin sedikit mendapatkan suplai makanan, maka sulit virus dengue berkembang biak (replikasi).
Bagaimana metode pelepasan Wolbachia?
Pada tahap awal, telur nyamuk Aedes aegypti dimasukan bakteri Wolbachia. Setelah telur menetas akan menghasilkan nyamuk Aedes aegypti jantan ber-Wolbachia dan Aedes aegypti Betina ber-Wolbachia. Nyamuk Aedes aegypti jantan dan betina ber-Wolbachia hidup di lingkungan sekitar secara alamiah dan berkembang biak menghasilkan generasi nyamuk ber-Wolbachia. Tidak hanya itu, faktanya peningkatan jumlah nyamuk hanya terjadi saat periode pelepasan saja. Tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan sesudah Wolbachia dilepaskan.
Referensi:
World Health Organization (WHO)
Kementerian Kesehatan RI
https://www.kemkes.go.id/id/rilis-kesehatan/inovasi-wolbachia-cara-ampuh-dan-hemat-kendalikan-demam-berdarah
https://p2p.kemkes.go.id/yuk-mengenal-lebih-dekat-nyamuk-ber-wolbachia-pemberantas-dengue/